Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui
sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-tiba seekor beruang yang sangat besar
keluar dari semak-semak di dekat mereka. Salah satu pengembara, hanya
memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya, memanjat ke sebuah
pohon yang berada dekat dengannya. Pengembara yang lain, merasa tidak dapat
melawan beruang yang sangat besar itu sendirian, melemparkan dirinya ke tanah dan
berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia sering mendengar
bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.
Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa
untuk menolong temannya yang berbaring. Entah hal ini benar atau tidak, beruang
itu sejenak mengendus-endus di dekat kepalanya, dan kelihatannya puas bahwa
korbannya telah meninggal, beruang tersebut pun berjalan pergi. Pengembara yang
berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya. "Kelihatannya seolah-olah
beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang di
katakan oleh beruang itu" "Beruang itu berkata," kata pengembara
yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-sama dan berteman
dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang berada
dalam bahaya."
Pesan dari dongeng di
atas adalah “Suatu Kejadian dapat menguji sebuah persahabatan”
“Si Monyet dan Si Kura-Kura”
Dahulu, hiduplah seekor monyet dan seekor kura-kura.
Mereka adalah sahabat yang akrab. Tak pernah terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Setiap pagi, mereka selalu jalan bersama, makan bersama, semua selalu bersama.
Suatu hari, mereka menemukan beberapa biji pisang. "Hei, Ra. Gimana kalau
kita tanam biji pisang ini? Siapa tahu berbuah," kata monyet. "Ya,
ya. Ayo kita tanam biji pisang ini," kata kura-kura semangat.
Mereka pun kembali ke rumah mereka masing-masing. Di
rumah monyet, ia menanam biji pisang itu di halaman rumahnya. Tapi, monyet
tidak rajin merawatnya. Terkadang seminggu sekali. Bahkan pernah dalam seminggu
tidak dirawat sedikitpun. Maka, pohon pisang monyet masih kecil sekali.
Sementara itu, kura-kura menanam pohon pisang itu dengan rajin. Dia selalu
menyiramnya setiap hari. Akhirnya pohon pisang kura-kura sudah besar dan
berbuah.
Suatu hari, monyet pergi ke rumah kura-kura.
Dilihatnya pisang yang sudah besar dan matang. Kebetulan juga kura-kura meminta
tolong pada monyet. "Sahabat baikku, maukah kau petikkan untukku pisang
itu? Tenang saja, kau juga akan kubagi," kata kura-kura. Dalam hati
monyet, monyet senang. Tapi, ada suatu niat jahat. Dia akan memanjat pohon lalu
memakan semua pisang kura-kura tanpa memberinya. "Baiklah, aku akan
mengambilnya," kata monyet. Monyet lalu memanjat pohon itu.
Begitu sampai di atas, monyet langsung memakan
pisang yang ada di pohon itu. Kura-kura kaget dan marah. "Hei sahabatku!
Mengapa kau makan pisangku?!" tanya kura-kura marah. Si monyet tak
menghiraukannya lagi. Dimakannya semua pisang itu sampai kenyang. Tapi salah
satu dari dahan pisang itu retak. Akhirnya dahan itu jatuh bersama monyet. Si
monyet itu pun meringis kesakitan. Tulang punggungnya patah.
Pesan moral dari cerita
ini adalah prilaku yang buruk akan menghantarkan ke arah yang buruk juga
“Asal Mula Rumah Siput”
Dahulu kala, siput tidak membawa
rumahnya kemana-mana. Pertama kali siput tinggal di sarang burung yang sudah
ditinggalkan induk burung di atas pohon. Malam terasa hangat dan siang terasa
sejuk karena daun-daun pohon merintangi sinar matahari yang jatuh tepat ke
sarang tempat siput tinggal. Tetapi ketika musim hujan datang, daun-daun itu
tidak bisa lagi menghalangi air hujan yang jatuh. Siput menjadi basah dan
kedinginan terkena air hujan.
Kemudian siput pindah ke dalam
lubang yang ada di batang pohon, jika hari panas, siput terlindung dengan baik,
bahkan jika hujan turun, siput tidak akan basah dan kedinginan. Sepertinya aku
menemukan rumah yang cocok untukku, pikir siput dalam hati.
Tetapi di suatu hari yang cerah,
datanglah burung pelatuk. Tok..tok…tok…burung pelatuk terus mematuk batang
pohon tempat rumah siput, siput menjadi terganggu dan tidak bisa tidur. Dengan
hati jengkel, siput turun dari lubang batang pohon dan mencari tempat tinggal
selanjutnya. Siput menemukan sebuah lubang di tanah, kelihatannya hangat jika
malam datang, pikir siput. Siput membersihkan lubang tersebut dan memutuskan
untuk tinggal di dalamnya. Tetapi ketika malam datang, tikus-tikus datang
menggali dari segala arah merusak rumah siput. Apa mau dikata, siput pergi meninggalkan
lubang itu untuk mencari rumah baru.
Siput berjalan terus sampai di
tepi pantai penuh dengan batu karang. Sela-sela batu karang dapat menjadi
rumahku, siput bersorak senang. Aku bisa berlindung dari panas matahari dan
hujan, tidak akan ada burung pelatuk yang akan mematuk batu karang ini, dan
tikus-tikus tidak akan mampu menggali lubang menembus ke batu ini.
Siput pun dapat beristirahat
dengan tenang, tetapi ketika air laut pasang dan naik sampai ke atas batu
karang, siput ikut tersapu bersama dengan ombak. Sekali lagi siput harus pergi
mencari rumah baru. Ketika berjalan meninggalkan pantai, siput menemukan sebuah
cangkang kosong, bentuknya cantik dan sangat ringan. Karena lelah dan
kedinginan, siput masuk ke dalam cangkang itu. Siput merasa hangat dan nyaman
lalu tidur bergelung di dalamnya.
Ketika
pagi datang, siput menyadari telah menemukan rumah yang terbaik baginya.
Cangkang ini sangat cocok untuknya. Aku tidak perlu lagi cepat-cepat pulang
jika hujan turun, aku tidak akan kepanasan lagi, tidak ada yang akan
menggangguku. Aku akan membawa rumah ini bersamaku kemanapun aku pergi.
Pesan moral dari cerita diatas adalah perlu banyak
usaha untuk mendapatkan hasil seperti yang kita inginkan
“Asal Mula Guntur”
Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan
rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa
sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama
Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai.
Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya, dan tidak pernah membedakan
mereka.
Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata,
“Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat
mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang
bisa mengabulkan permintaan apapun.” Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang
oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi
orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan
secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati.
Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada
di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya.
Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke
cawan. Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain
lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat
menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui
Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya.
Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang
murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi
sebuah permata sebesar ibu jari. ” Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah
permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu,” ujar Guru Shie.
Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya.
Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti
Rajawali. Indah sekali. Sementara itu, baru pada
senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak
sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru
Shie. “Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas
jerih payahmu,” kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti. Kapak itu
terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak
itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur.
Ternyata
Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang
di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada
bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya
terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu
terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga.
Orang-orang menyebutnya “guntur”.
Pesan dari cerita diatas adalah jangan pernah
menyalahgunakan sebuah kepercayaan yang telah diberikan dari seseorang
“Dongeng Asal Mula Duabelas Shio Binatang”
Pada
zaman dahulu kala, hiduplah seorang dewa. Pada tanggal 31 Desember pagi sebelum
tahun baru, Sang Dewa menulis surat kepada binatang-bintang diseluruh negeri.
Angin lalu menyebarkan surat-surat itu ke seluruh negeri. Dalam sekejap, para
binatang menerima surat-surat itu, yang isinya seperti ini:
"Besok
pagi di Tahun Baru, aku akan memilih binatang yang paling dahulu datang kesini,
dari nomor satu sampai dengan nomor duabelas. Lalu, setiap tahun aku akan
mengangkat satu-persatu dari mereka sebagai Jenderal berdasarkan urutan".
Tertanda, Dewa.
Para
bintang sangat bersemangat dan tertarik dengan hal itu. Mereka sangat ingin
menjadi Jenderal. Tetapi, ada seekor binatang yang tidak membaca surat semacam
ini, yaitu Kucing yang suka bersantai dan tidur. Ia hanya mendengar berita ini
dari Tikus. Tikus yang licik menipunya dan memberitahu bahwa mereka harus
berkumpul di tempat Dewa lusa tanggal 2 Januari, padahal seharusnya mereka
berkumpul besok pagi tanggal 1 Januari.
Semua
binatang bersemangat dan memikirkan tentang kemenangan, dan mereka semua tidur
cepat. Hanya Sapi yang langsung berangkat malam itu juga, karena ia sadar bahwa
ia hanya dapat berjalan lambat. Tikus yang licik melihatnya lalu meloncat dan
menumpang di punggung Sapi, tapi Sapi tidak menyadari hal itu.
Pagi
harinya, saat hari masih gelap, Anjing, Monyet, Babi Hutan, Harimau, Naga,
Ular, Kelinci, Ayam, Domba dan Kuda, semuanya berangkat berlari menuju ketempat
Sang Dewa. Saat matahari mulai terbit, yang pertama kali sampai di tampat
tinggal Dewa adalah Sapi. Tapi kemudian Tikus melompat kedepan dan mendarat
tepat dihadapan Dewa. Maka Tikus pun menjadi yang pertama.
Selamat
Tahun Baru Dewa kata Tikus kepada Dewa. Sapi pun menangis karena kecewa menjadi
urutan ke dua. Di belakang mereka, tibalah Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda,
Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan datang berurutan. Dengan demikian
mereka ditetapkan sebagai pemenang satu sampai dengan duabelas sesuai dengan
urutan kedatangannya. Duabelas ekor binatang ini kemudian disebut dengan 12
Shio Bintang.
Para
binatang itu merayakan kemenangan dan berpesta pora sambil mengelilingi Sang
Dewa. Lalu, kucing datang dengan wajah yang sangat marah. Ia mencari Tikus yang
telah menipunya sehingga ia datang terlambat. Kucing pun berlari mengejar Tikus
kesana kemari. Sejak itu mulailah era Duabelas Shio Binatang, dimulai dari yang
pertama tahun Tikus, lalu Sapi, kemudian Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda,
Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan. Kucing yang tidak berhasil masuk
kedalam Dua belas Shio Binatang sampai sekarang masih mengejar Tikus kesana
kemari karena telah ditipu.
”Pulau
Kakak-Beradik”
Karena dianggap sudah cukup umur, Mina dan Lina
dipanggil ibu mereka untuk membicarakan rencana perkawinan kakak-beradik itu.
“Kalian sudah cukup dewasa. Sudah waktunya kalian membangun rumah tangga,” kata
sang ibu. “Kami mau dikawinkan dengan satu syarat,” kata Mina dan Lina. “Apa
syaratnya?” tanya sang ibu. “Karena kami kakak-beradik, suami kami juga harus
kakak-beradik” jawab Mina dan Lina.
Sang ibu tahu, itu adalah cara mereka menolak
perkawinan. Menurut Mina dan Lina, perkawinan membuat orang kehilangan segala
sesuatu yang mereka cintai: orang tua, teman, sanak-saudara, bahkan kampung
halaman. Demikianlah, karena tak ada laki-laki kakak-beradik yang menyunting
Mina dan Lina, mereka tak kunjung menikah. Waktu pun terus berlalu. Ibu Mina
dan Lina meninggal karena usia yang semakin tua. Sepeninggal ibunya, gadis
kakak-beradik itu tinggal bersama dengan paman mereka.
Pada suatu hari, sekelompok bajak laut menculik
Lina. Pemimpin bajak laut itu ingin memperistri Lina. Lina menolak dan meronta
sekuat tenaga. Penculikan itu diketahui oleh Mina. Karena tak ingin terpisah
dari adiknya, Mina bertekad menyusul Lina. Dengan perahu yang lebih kecil, Mina
mengejar perahu penculik Lina. Teriakan orang sekampung tak dihiraukannya. Mina
terus mengejar sampai tubuhnya tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba mendung datang. Tak lama kemudian hujan
pun turun. Halilintar menggelegar, petir menyambar-nyambar. Orang-orang
berlarian ke rumah masing-masing. Ombak bergulung-gulung. Menelan perahu
penculik Lina, menelan Lina, menelan Mina, menelan semuanya. Ketika keadaan
kembali normal, orang-orang dikejutkan oleh dua pulau yang tiba-tiba muncul di
kejauhan. Mereka yakin, pulau itu adalah penjelmaan Mina dan Lina. Kedua pulau
itu diberi nama Pulau Sekijang Bendera dan Sekijang Pelepah, tetapi kebanyakan
orang menyebutnya Pulau Kakak-Beradik.
“Sejarah Dan Legenda Gunung Bromo”
Sejarah dan
Legenda Gunung Bromo berawal
ketika kerajaan majapahit pada zaman dahulu kala mengalami serangan dari
berbagai daerah sehingga penduduk pribumi kerajaan majapahit melarikan diri
untuk mencari tempat tinggal baru demi keselamatan hidup mereka dan pada akhirnya
mereka terpisah menjadi dua bagian yaitu pertama menuju kawasan gunung
Bromo dan yang kedua menuju Pulau Bali. Karena berasal dari lokasi yang sama
sehingga kedua tempat ini sampai sekarang mempunyai kesamaan akan
budaya,agama,adat istiadat yang sama yaitu menganut kepercayaan Agama Hindu.
Sejarah dan
Legenda Gunung Bromo masyarakat
Suku Tengger yang berasa di kawasan Gunung Bromo berasal dari Legenda Roro
Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger itu. “Teng”
akhiran nama Roro An-”teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-”ger” dan Gunung
Bromo sendiri dipercaya sebagai gunung suci. Mereka menyebutnya sebagai Gunung
Brahma. orang Jawa kemudian menyebutnya Gunung Bromo.
” Joko Seger “ Dan “Rara Anteng”
Di sebuah pertapaan,
istri seorang Brahmana atau Pandhita baru saja melahirkan seorang putra yang
fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, dan
karenanya bayi tersebut diberi nama ” Joko Seger “.
Di tempat
sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir
dari titisan dewa. Wajahnya cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling
cantik di tempat itu. Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia
diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu
tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi
itu dinamai “Rara Anteng”.
Dari hari ke
hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak
jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak
putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah
terpikat hatinya kepada Joko Seger.
Suatu hari Rara
Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut
terkenal sangat jahat. Rara Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani
menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan
lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya
pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu
harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam
hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng
tersebut.
Pelamar sakti
tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan
pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng
mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh
Bajak itu? Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan
orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba
timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.
Rara Anteng
mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan
membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan,
seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.
Bajak mendengar
ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga nampak.
Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya.
Rasa kesal dan marah dicampur emosi dan pada akhirnya Tempurung (Batok kelapa)
yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh
tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang
sampai sekarang dinamakan Gunung Batok.
Dengan kegagalan
Bajak membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara
Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari
Rara Anteng dan Joko Seger menjadi pasangan suami istri yang bahagia, karena
keduanya saling mengasihi dan mencintai.
Pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan
Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa
Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara
Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau
pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.
Dari waktu ke
waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah
merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka
Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah
untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada
suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan
syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke
kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan
kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah
tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Singkat cerita pasangan Rara Anteng
dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan
menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita
kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
Kusuma anak
bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo,
bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib ”Saudara-saudaraku yang
kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widhi
menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widhi.
Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji
yang berupa hasil bumi dan di persambahkan kepada Hyang Widhi Wasa di kawah
Gunung Bromo. sampai sekarang kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh
masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan
pasir dan kawah Gunung Bromo.
“Anak Katak yang Sombong dan Anak Lembu”
Di
tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh
berpuluh-puluh katak. Di antara katak-katak tersebut ada satu anak katak yang
bernama Kenthus, dia adalah anak katak yang paling besar dan kuat. Karena
kelebihannya itu, Kenthus menjadi sangat sombong. Dia merasa kalau tidak ada
anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya. Sebenarnya kakak Kenthus sudah
sering menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada teman-temannya yang
lain. Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini yang
menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai
teman bermain lagi.
Pada
suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang rumput. Ketika itu juga ada
seekor anak lembu yang sedang bermain di situ. Sesekali, anak lembu itu
mendekati ibunya untuk menyedot susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia
berlari-lari sambil sesekali menyenggok rumput yang segar. Secara tidak
sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena tubuh si Kenthus. "Huh,
berani makhluk ini mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah sambil
coba menjauhi anak lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat
untuk mengganggunya. Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga
menyebabkan Khentus menjadi cemas dan melompat dengan segera untuk
menyelamatkan diri.
Sambil
terengah-engah, Kenthus sampai di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan
sangat capek, kawan-kawannya nampak sangat heran. "Hai Kenthus, mengapa
kamu terengah-engah, mukamu juga kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput
itu. Aku tidak tahu makhluk apa itu, tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk
itu hendak menelan aku." Kata Kenthus. Kakaknya yang baru tiba di situ
menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak, anak lembu
tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap pagi."
"Tidak jahat? Kenapa kakak bisa bilang seperti itu? Saya hampir-hampir
ditelannya tadi," kata Kenthus. "Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan
katak atau ikan tetapi hanya rumput." Jelas kakaknya lagi.
"Saya
tidak percaya kakak. Tadi, aku dikejarnya dan hampir ditendang olehnya."
Celah Kenthus. "Wahai kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan
mengembungkan diriku," Kata Kenthus dengan bangga. "Lawan saja
Kenthus! Kamu tentu menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai.
"Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat menandingi lembu itu. Perbuatan
kamu berbahaya. Hentikan!" kata Kakak Kenthus berulang kali tetapi Kenthus
tidak mempedulikan nasehat kakaknya. Kenthus terus mengembungkan dirinya,
karena dorongan dari teman-temannya. Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi
pelajaran pada Kenthus yang sombong itu. "Sedikit lagi Kenthus.
Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus. Setelah
perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas.
Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan
adiknya yang lemas, kakak Kenthus lalu membantu.
Pesan dari cerita diatas adalah “jangan pernah melakukan sesuatu yang dapat merugikan diri kita sendiri
hanya karena ingin dikagumi oleh orang lain”.
“Semut Pohon Dan Seekor Belalang Sembah”
Suatu hari di sebuah
kebun anggur tinggalah sebuah keluarga semut rang-rang dengan anggota jumlahnya
yang sangat banyak, semut rang-rang ini membuat sarangnya dari daun-daun lalu
mereka tempel menggunakan cairan seperti lem yang mereka keluarkan dari
mulutnya. Di sarang itu tinggalah seekor ratu semut yang tubuhnya paling besar
diantara para semut sang ratu sangat rajin mengeluarkan telur-telur dan telur
itu menetas menjadi semut-semut yang baru. Para semut melihat bahwa musim gugur
akan segera berlalu dan akan segera datang musim dingin yang cukup panjang
ketika musim dingin makanan akan sangat sulit untuk didapatkan maka para semut
itu segera mencari berbagai macam makanan untuk mereka kumpulkan sebagai bahan
persedian ketika musim dingin telah tiba.
Para semut sibuk
mengumpulkan makananan dimulai saat pagi hari sampai dengan sore hari,
semut-semut pekerja untuk membawa dan mencari makanan sedangkan semut tentara
menjaga keamanan dari para pengganggu. Berbeda halnya degan seekor belalang
sembah, belalang sembah memiliki mata yang besar dan tangan yang panjang mereka
sering hidup di pohon-pohon seperti halnya para semut. ketika musim dingin akan
tiba belalang sembah hanya berlatih menari, setiap hari belalang sembah itu
hanya berlatih menari dia amat senang sekali berlatih menari namun sang
belalang lupa bahwa dia harus mengumpulkan makanan untuk persiapannya
menghadapi musim dingin.
Suatu hari sang
belalang sembah menari di dekat sarang semut rang-rang dia menari dengan sangat
anggun, gerakan tangan dan badannya yang pelan dan lembut membuat tariannya
terlihat sangat mengagumkan, para semut melihat tarian sang belalang sembah
menari namun mereka tidak menghiraukan tarian indahnya itu karena mereka
memiliki tugas yang sangat penting.
Sang belalang yang
sedang menari melihat para semut berjalan dengan membawa makanan untuk di bawa
kesarangnnya, sang belalang sembah herang dengan apa yang dilakukan semut
rang-rang lalu dia bertanya kepada salah satu semut tentara yang sedang berjaga
di dekat para semut pekerja “kenapa kalian membawa makanan yang sangat banyak
itu masuk ke sarang kalian?” sang semut rang-rang menjawab “kami melakukannya agar
kami tidak kelaparan saat musim dingin tiba.” lalu sang belalang kaget “musim
dingin?” kata sang belalang sembah dengan kagetnya “aku lupa dengan musim
dingin, aku terlalu sibuk dengan melatih tarianku hingga aku lupa bahwa
sebentar lagi akan datang musim dingin dan aku belum mempersiapkan makanan
untuk diriku.” keluh sang belalang “apa aku boleh meminta makanan kalian itu?”
pinta sang belalang sembah “apa, yang kau lakukan setiap hari hanya menari,
kini setelah kau sadar akan kebutuhan hidupmu kau memintanya kepada kami, enak
sekali hidupmu itu.” kata sang semut sambil memasang wajah marah “kami bekerja
dengan sangat keras setiap hari dengan penuh tenaga dan kau memintanya, aku
sarankan kau untuk pergi dari tempat ini dan mencari makanan untuk kau simpan.”
kata sang semut rang-rang. Akhirnya sang belalang sembah pergi mencari makanan
untuk menghadapi musim dingin.
Pesan moral dari
cerita diatas adalah “Semut Pohon Dan Seekor Belalang Sembah” bekerja keraslah untuk meraih masa depan yang
cemerlang. Bersakit dahulu untuk mencapai kesuksesan dimasa yang akan datang.
“Asal
Mula Selat Bali”
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang
Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang
Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang
cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka
namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah
dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia
sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya,
malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik
Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa
dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara,
“Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor
naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau
memberi sedikit hartanya.”
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi
segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila.
Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih.
Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi
Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan.
Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda
yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan
berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan.
Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra
menolak untuk membantu anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta
itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia
harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra.
Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran
membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih.
Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan
kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah
kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan
permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya.
Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor
Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera
melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu,
Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kematian anaknya, kesedihan hati Sidi
Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya
anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali
seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga.
Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi
orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga
mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,”
katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah
sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan
tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya.
Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau
Bali.
Daftar Pustaka
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://dayatproshop.blogspot.co.id/
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/298-si-monyet-dan-si-kura-kura
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/219-asal-mula-rumah-siput
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/69-cerita-anak-guntur
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/44-cerita-dongeng-anak-shio
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/81-cerita-dongeng-anak-pulau
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://liburanbromomurah.com/sejarah-legenda-gunung-bromo/
Di
browsing pada Senin 17 Okober 2016 di http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/72-cerita-anak-anak-katak-anak-lembu
Dibrowsing pada tanggal 11 Oktober 2016
di http://dongengceritarakyat.com/2-contoh-cerita-rakyat-fabel-paling-menarik/
Di browsing pada Senin 18 Okober 2016 di
http://www.pendongeng.com/cerita-legenda-nusantara/117-asal-mula-selat-bali.html